Bantul, 29 Mei 2025 — Dalam lingkungan asrama yang padat interaksi dan minim privasi, memahami dan menjaga batasan dalam bergaul menjadi sangat penting. Di tengah maraknya isu penyimpangan seksual seperti LGBT yang semakin mendapat ruang di media dan lingkungan sosial, kesadaran akan pentingnya batas pribadi menjadi semakin relevan.
Tinggal bersama di asrama memang penuh cerita—banyak teman, banyak canda, dan banyak pelajaran hidup. Namun, di balik kehangatan tersebut, sering kali kita lupa bahwa setiap individu memiliki ruang dan batas yang harus dihormati. Badan Eksekutif Asrama STITMA Yogyakarta menyadari hal ini dan menginisiasi sebuah seminar bertema “Tegas Jaga Batas: Close but Keep Respect, Because Boundaries are The Real Key.” Seminar ini tidak hanya membahas pentingnya menjaga jarak secara emosional dan fisik, tetapi juga mengajak para peserta menyikapi isu-isu sensitif, seperti penyimpangan seksual, dengan bijak dan tetap menjaga kesehatan mental.
“Kita tidak bisa menutup mata dari realita yang ada. Justru karena cinta pada sesama, kita perlu mengingatkan dengan hikmah dan menjaga agar relasi di antara kita tetap dalam jalan yang benar,”
ujar Keysha Alea, ketua pelaksana seminar.
Seminar ini mengajak para penghuni asrama untuk berpikir ulang: Sudah dekat, tapi apakah masih tahu batas? Apakah kedekatan membuat kita longgar terhadap nilai? Justru di sinilah pentingnya batas. Dekat boleh, tapi harus tetap ada respek. Termasuk dalam menolak pengaruh negatif seperti penyimpangan seksual, tanpa harus membenci atau menghakimi.
Dua Pemateri, Dua Sudut Pandang, Satu Tujuan
Seminar ini menghadirkan dua pemateri dari latar belakang berbeda yang saling melengkapi. Putri Qohimah, M.Psi., Psikolog, membuka wawasan peserta tentang akar emosional yang sering kali melatarbelakangi ketertarikan pada hal-hal menyimpang. Ia menekankan bahwa banyak dari kebingungan itu berasal dari luka masa kecil atau kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Namun, semua bisa dipulihkan—asal ada kesadaran dan kemauan untuk dibimbing.
Di sisi lain, dr. Sri Ariantini memberikan penjelasan dari sudut pandang medis. Ia membahas peran hormon, fisik, dan bagaimana tubuh memengaruhi emosi dan perasaan. “Menjaga fitrah itu bukan menolak perasaan, tapi menuntunnya agar tetap di jalan yang benar,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya menjaga tubuh, jarak fisik, dan kesehatan secara keseluruhan.
Diskusi yang Jujur dan Aman
Sesi diskusi menjadi bagian paling berkesan. Peserta secara terbuka menyampaikan keresahan—mulai dari pengalaman pribadi merasa tidak nyaman dengan teman, hingga kebingungan menghadapi ajakan yang tidak wajar. Semua ditanggapi dengan suasana yang aman, nyaman, dan tanpa penghakiman. Di sinilah pentingnya komunitas yang saling mendukung namun tetap teguh dalam prinsip.
Komitmen Bersama: Bukan Sekadar Janji
Menjelang penutupan, para peserta diajak membuat komitmen pribadi. Bukan hanya janji di atas kertas, tetapi juga dalam hati: untuk saling menjaga, saling mengingatkan, dan tetap berada di jalur yang benar. Karena pada akhirnya, menjaga batas bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga sebagai bentuk cinta kepada sesama.
Seminar ini menjadi pengingat manis bahwa batas itu penting—bukan untuk menjauhkan, melainkan untuk saling menjaga. Dekat boleh, tapi jangan sampai melewati garis. Yang paling penting, kita bisa tetap saling support sambil berdiri teguh di atas nilai yang kita yakini.
Penulis: Nabilah Faradiba/PBA 6
Editor: Rizkyana Wahyu L.P., M.Pd.